Senin, 30 Maret 2009

Lahan Transmigrasi Kembali Digugat Para Pemiliknya

JUBI—Warga Kampung Marga Mulya, Kabupaten Merauke Provinsi Papua masih menanti ketegasan Pemerintah Kabupaten Merauke untuk melakukan pelepasan tanah tanah adat eks lahan transmigrasi untuk dikelola warga di sana.
“Sejak berlakunya Undang Undang Otsus Papua, hampir seluruh lahan restan di wilayah pemukiman transmigrasi digugat kembali oleh pemilik hak ulayat,”ujar Kepala Desa Kampung Marga Mulya Eva Hardianto kepada Jubi belum lama ini.
Lebih lanjut urai Eva Hardiyanto tanah tanah restan atau tanah sisa permukiman kini masih tetap dikelola oleh warga trans bagi produktifitas pertanian. “Namun sebagian besar belum memiliki pelepasan tanah adat dan bersertifikasi,”ujar Kepala Kampung Marga Mulya.
Namun lanjut Kepala Kampung pihaknya tetap menggarap lahan lahan tersebut sembari menanti keputusan dan ketetapan ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Merauke.
Selain itu Assiten I Bidang Pemerintahan Setda Provinsi Papua Drs Elieser Renmaur mengatakan tuntutan ganti rugi tanah adat yang cukup besar itu, karena penguasaan tanah adat yang tidak bertanggung jawab.
“Banyak warga trans yang kemudian menjual lagi tanah itu kepada orang lain, itulah yang tidak disetujui oleh masyarakat adat," tutur Renmaur.
Sebanyak lokasi 217 eks Unit Permukiman Transmigrasi di Papua kini telah berkembang menjadi kampung defenitif, berubah menjadi distrik dan mendorong pemekaran-pemekaran yang tengah terjadi saat ini.
Kabupaten Keerom dan Distrik Muara Tami mayoritas penduduknya berasal dari warga transmigrasi.
“Dengan hadirnya transmigran, juga ikut membentuk tumbuhnya sentra-sentra ekonomi dan infrastruktur kampung," ungkap Renmaur. Dia juga menambahkan bahwa jumlah transmigrasi terbesar di Papua berada di di Kabupaten Merauke dengan jumlah 24.897 KK atau 97.617 jiwa.
Untuk mengatasi dampak negatif sebagai akibat masuknya program transmigrasi, lanjut Renmaur, maka setiap program transmigrasi yang akan masuk ke Papua harus atas izin Gubernur Provinsi Papua

Tuntutan ganti rugi bagi lahan lahan transmigrasi di Papua muncul kembali ke permukaan karena proses pelepasan awal yang tidak berlangsung mulus. Walau pun dalam berbagai kesempatan pemerintah mengatakan usulan program transmigrasi karena atas permintaan masyarakat setempat karena ingin daerahnya tidak terisolir lagi.
Selain beberapa lokasi di Kabupaten Merauke, maraknya tuntutan ganti rugi dan pelepasan tanah terjadi pula pada beberapa wilayah di Papua antara lain,lokasi eks UPT Koya Timur dan Koya Barat Distrik Muara Tami di Kota Jayapura Transito Sentani Kabupaten Jayapura. UPT Kalibumi di Kabupaten Nabire, Eks UPT Botawa SP4 dan UPT Waren Botawa SP5. SP6 dan SP 7 di Kabupaten Waropen (eks Kabupaten Yapen Waropen).

Menurut laporan dari Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Kantor Wilayah Propinsi Irian Jaya, besarnya tuntutan ganti rugi berkisar antara Rp 130.000.000, - sampai dengan Rp 230.000.000.000,-.




Menanggapi tuntutan ganti rugi warga menurut data yang diperoleh Jubi bagi pihak Deptrans khususnya Kanwil Trans dan PPH Irja (sekarang Dinas Kependudukan dan Transmigrasi Provinsi Papua) Adanya tuntutan ganti rugi di Waren Botawa SP4, 5 dan SP 6 sebesar Rp 350.000.000,- dan menurut pihak pemerintah telah diwujudkan dalam bentuk pembangunan gedung gereja baru.

Sedangkan recognisi diberikan kepada masyarakat pemilik hak ulayat untuk SP4 berupa satu unit mobil angkutan pedesaan, sedangkan untuk SP5 berupa long boat dan dua buah motor temple. Bagi warga Waren Botawa SP 6 waktu itu tidak diberikan recognisi karena Lahan Usaha (LU) II masih diklaim penduduk.

Pada lokasi Waren Botawa Kabupaten Waropen, lahan usaha (LU) II tidak dapat dibagikan karena lahan seluas 200 Ha untuk 200 KK warga Waren Botawa SP 6 Lokasi seluas itu diklaim penduduk setempat karena merupakan dusun sagu yang tidak dapat disetifikatkan. Meski demikian pihak pemerintah telah memberikan konpensasi berupa sapi satu ekor per kepala keluarga/KK.

Penyelesaian dan ganti rugi lahan lahan transmigrasi juga terjadi di Distrik Nimboran Kabupaten Jayapura di mana warga memalang lahan lahan usaha II sehingga pertanian warga trans terhambat dan terus merugi.

Memang ada beberapa lokasi di Kabupaten Jayapura yang justru menyerahkan lahannya bagi program transmigrasi dengan harapan wilayah menjadi semakin terbuka dan isolasi wilayah berkurang. Misalnya saja di Distrik Kaureh warga setempat menyerahkan lahan seluas 21.000 hektar lahan bagi program transmigrasi. Pasalnya harapan masyarakat setempat dengan menyerahkan lahan seluas itu pemerintah akan membangun jalan darat menuju ke lokasi permukiman terpencil dan mengembangkan sentra ekonomi baru.
Data Dinas Kependudukan dan Transmigrasi Provinsi Papua menyebutkan partisipasi masyarakat adat sangat besar dan memberikan respon positif dengan menyerahkan tanah ulayat seluas 2.100.700 Ha kepada pemerintah daerah bagi pengembangan program transmigrasi. Lahan terluas yang diserahkan masyarakat adat terdapat di Kabupaten Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat seluas 598.500 Ha dan wilayah terkecil di Kabupaten Biak Numfor seluas 100 hektar. Tercatat wilayah trans di Kabupaten Jayawijaya telah menyediakan lahan seluas 1500 hektar bagi program transmigrasi.
Namun sayangnya tidak semua warga asli Papua dapat menikmati program transmigrasi sebab pola kehidupan yang berbeda sehingga transfer ilmu pengetahuan terutama pertanian lambat terjadi. Apalagi kondisi ini diperparah lagi dengan kebiasaan penduduk asli Papua untuk melakukan aktivitas perburuan pada lokasi seluas 20.000 hektar. Hal ini membutuhkan waktu untuk merubah kebiasaan meramu menjadi petani menetap sesuai program idealnya transmigrasi yakni membuat lahan bagi tanaman padi.
Ironinya selama program transmigrasi dilakukan di tanah Papua tak selamanya berjalan mulus terutama bagi transmigrasi local atau biasanya disebut Alokasi Pemukiman Penduduk Daerah Transmigrasi/APPDT. Warga trans local selalu dituding ikut bertransmigrasi hanya untuk sekadar menerima jatah jaminan hidup (Jadup) selama setahun. Setelah jadup habis mereka kembali lagi ke profesi semula sebagai peramu, peladang berpindah pindah dan berburu hewan buruan. Warga translok mau berburu tetapi lahan lahan untuk berburu sudah terbatas dan berubah menjadi lahan usaha II bagi warga trans.
Memasuki tahap Otonomi Daerah termasuk Otsus Papua pemerintah Pusat hanya memfasilitasi dan memberi bantuan teknik, sedangkan pelaksanaan sepenuhnya diserahkan di daerah dengan menerapkan konsep Ring I, II dan III.
Ring I adalah penempatan trans dari suatu daerah yang padat penduduknya di suatu kabupaten ke daerah yang jarang di kabupaten yang sama. Konsep Ring I ini telah diterapkan di Kabupaten Keerom di mana Dinas Trans dan Kependudukan Keerom merencanakan memindahkan anak anak warga trans ke lokasi Distrik Senggi. Konsep Ring II adalah penempatan penduduk dari kabupaten yang padat penduduknya ke kabupaten yang jarang penduduknya. Konsep Ring III pemindahan penduduk dari provinsi yang padat penduduknya ke provinsi yang jarang penduduknya.
Program terbaru yang belum lama ini diresmikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah Pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Salor, bertempat di Kampung Ivimahad Distrik Kurik, kabupaten Merauke.
Program ini akan dikembangkan pada dua Kabupaten masing masing Kabupaten Keerom dan Kabupaten Merauke.

Penempatan transmigrasi di Provinsi Papua telah dilaksanakan sejak 1964 di Kabupaten Merauke dengan mendatangkan sebanyak 27 KK transmigran di lokasi Kumbe. Perkembangan transmigran di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak Pta Pelita sampai dengan Tahun Anggaran 1999/2000, telah dibangun sebanyak 217 Unit Permukiman Transmigran (UPT) atau 78.127 KK/303.323 jiwa transmigran umum, dan transmigran swakarsa berbantuan sebanyak 156 UPT atau 58.530 KK atau 235.911 jiwa.(Dominggus A Mampioper/Dri dari Merauke

Dari Kolonisasi sampai Transmigrasi di Tanah Papua

I.Pendahuluan :

Salah seorang tokoh adat dari Arso Kasim Girbes tidak menyebut kaum transmigran di wilayahnya sebagai warga pendatang tetapi dia menyebut “masyarakat tambahan” di lokasi Arso, Kabupaten Keerom. Sebelum pemekaran pada 2004 wilayah Keerom termasuk dalam adminitrasi Kabupaten Jayapura.
Pendapat Girbes ini bisa diterima karena pertumbuhan penduduk di Papua arus migrasi dan transmigrasi justru menambah jumlah penduduk di tanah Papua. Pertambahan ini bertambah baik secara urbanisai atau pun diatur oleh pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi.
Populasi penduduk di tanah Papua sejak 1960 sesuai data dari Nettherlands Government Annual Report to the United Nations on Netherlenads New Guinea, 1960 Den Haag tercatat bahwa jumlah penduduk Papua 736.700 jiwa, dan masih didominasi oleh penduduk asli Papua.
Kemudian sensus penduduk pada 1971 jumlah penduduk Papua bertambah 200.000 orang sehingga jumlahnya menjadi 936.700 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk ini cukup tinggi selama sepuluh tahun relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan jaman pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea.

Pakar kependudukan Papua dari PSK Uncen almarhum Drs Michael Rumbiak MA mengatakan setelah Pepera tahun 1969 pemerintah Indonesia menyatakan Provinsi Papua sebagai daerah terbuka (open door policy) bagi orang Indonesia. Maka sejak saat itu membuat banyak orang Indonesia dari luar Papua bebas masuk Papua untuk berusaha dan mencari pekerjaan baik di sector swasta mau pun pemerintahan. Terutama pada sector swasta dan informasl banyak didominasi oleh orang non Papua mulai dari pedagang kaki lima hingga kios dan toko.

Sejak tahun 1970, an sampai dengan tahun 2000 jumlah penduduk di Tanah Papua meningkat sangat cepat dan tajam tiga kalki lipat (trippled) dari jumlah 700.000 menjadi 2.5 juta pada tahun 2000 selama kurang lebih 35 tahun.

Lebih lanjut menurut Drs Michael Rumbiak MA dari jumlah 2,5 juta tersebut diperkirakan orang Papua asli hanya mencapai jumlah sekitar 1,5 juta orang, berarti terjadi penambahan 800.000 orang Papua asli.

Fakta fakta lain yang juga sangat menentukan bahwa saat ini jumlah warga transmigran terus bertambah. Pasalnya menurut Dirjend Binmas Transmigrasi, Wibowo SE sebenarnya ada sebanyak 17 persen dari penduduk Papua saat ini merupakan warga transmigrasi dan belum termasuk anak serta keturunannya. Malah kemungkinan jumlah penduduk transmigrasn itu akan bertambah. Kabupaten Keerom saat ini justru kaum transmigran lebih banyak dari warga penduduk asli.
Bahkan pemerintah Kabupaten Keerom merencanakan memindahkan anak anak transmigran dari Arso dan Skanto ke lokasi permukiman baru di Distrik Senggi. Kabupaten Keerom. Wilayah itu merupakan salah satu program terbaru dari Departemen Transmigrasi dan Tenaga kerja yaitu, Kawasan Terpadu Mandiri, (KTM).

Sebagaimana dikutip dari Harian Pagi Timika Pos, yaitu 12 April 2006 tentang lokasii transmigran di Distrik Senggi Kabupaten Keerom.

2000 KK Transmigran Kembali Ditempatkan di Kabupaten Keerom

Keerom,TP.-

Sebanyak 2000 KK(Kepala Keluarga) Transmigrasi menurut rencana akan kembali ditempatkan di Kabupaten Keerom Provinsi Papua.
Penempatan ini sebagai langkah untuk membantu masyarakat di kabupaten Keerom, semenjak program ini dihentikan beberapa tahun silam.ta
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Keerom, Drs Abdul Hamid, kepada Timika Pos (12/4)mengatakan, penempatan transmigrasi di Kabupaten Keerom, khususnya di Kampung Yetti dan Distrik Senggi sebagai jawaban atas permintaan masyarakat di satu kampung dan distrik tersebut.
"penempatan warga trans ini berdasarkan permintaan dari masyarakat setempat, yang disertai dengan penyerahan lahan untuk ditempati warga trans tersebut," jelas Hamid.
Lebih jauh Hamid menjelaskan, atas permintaan masyarakat untuk pemerintah menempatkan transmigrasi, maka masyarakat juga telah menyerahkan lahan seluas 900 Ha tanah.
Dan untuk kampung Yetti, hanya 1 SP, sedangkan distrik Senggi, 7 SP yang tadinya sudah dikembangkan, namun karena dampak krismon tahun 1997, maka program penempatan dihentikan.
Diharapkan tahun 2007, dua lokasi ini sudah harus diisi dengan transmigrasi, yang umumnya didatangkan dari penduduk di sekiatar Arso dan Koya, termasuk penduduk local di sekitar Arso.
Menyinggung penempatan kembali warga transmigran akan berbenturan dengan paying hukum Pemerintah Provinsi seperti Perdasi dan Perdasus, Hamid akui bahwa satu kendala penempatan warga trans adalah soal Perdasinya.
Namun, menurutnya, saat ini paying hokum soal penempatan warga trans di Arso, sedang digodok dan selanjutnya akan disahkan.
Dengan demikian pihaknya bertugas untuk mensosialisasikannya dalam tahun ini, agar tahun depan 2000 KK transmigrasi ini secepatnya ditempatkan di Kabupaten Keerom, sesuai kebutuhan masyarakat.
"diharapkan, dengan Perdasi yang sudah disiapkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Pemukiman Provinsi,yang sedang digodok oleh DPRP, dapat disosialisasikan secepatnya, maka tahun depan kita sudah tempatkan warga transmigrasi di Yetti dan Distrik Senggi," jelasnya ( bis/dam)


Almarhum Drs Michael Rumbiak menilai kedatangan para transmigran justru menimbulkan kepincangan tajam jumlah penduduk asli terhadap jumlah transmigran atau migran sebagai bagian penghuni. Program transmigrasi seakan-akan membatasi orang Papua tetap sedikit (minoritas) di tanah kelahirannya atau tanah leluhur mereka. Kenyataannya orang Papua bertambah sangat lambat dan tidak mengimbangi orang-orang non Papua di daerah transmigrasi menjadi minoritas dan tidak mampu bersaing dengan mereka serta dikhawatirkan bisa stress mental.

Ironinya lagi lima tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera atau Free of Choice), pada 1964 pemerintah Indonesia memasukan para transmigrasi. Program itu disebut Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat (TPPSG/PPIB).
Adapun wilayah penerima program ini adalah di Kabupaten Manokwari sekarang Ibukota Provinsi Papua Barat dan ditempatkan 12 KK/30 jiwa, Kumbe(Kab. Merauke) sebanyak 27 KK dan di Dosai (Kabupaten Jayapura) sejumlah 9 KK.

Program transmigrasi di tanah Papua baru ditetapkan dengan Kebijakan Presiden Soeharto tentang penentuan Provinsi Irian Jaya sebagai daerah penerima transmigasi baru dilakukan tahun 1978. Keputusan Presiden No.7/1978 yang menyebutkan bahwa Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Provinsi Irian jaya sebagai penerima transmigran paling tinggi.

Sebagai wilayah bekas jajahan Belanda sebenarnya pemerintah Belanda sudah melakukan program ini dengan sebutan kolonisasi di Papua sejak tahun 1902. Tepatnya pada 21 Februari 1902 pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke. Pada 1908 dimasukan lagi penduduk dari Jawa yang dimukimkan di Kuprik. Pada saat yang sama (1908) hadir pula masyarakat Timor dari Rote yang ditempatkan ke Merauke di lokasi Kampung Timor Merauke. Bersamaan dengan itu Pemerintah Belanda juga memasukan rusa asal Pulau Rote Provinsi NTT pada tahun yang sama. Selanjutnya pada 1910 pemerintah Belanda mendatangkan lagi masyarakat Jawa dan dimukimkan di lokasi Spadem dan Mopah lama.

Program kolonisasi ini tidak berhenti sampai di situ, setelah Perang Dunia Kedua berakhir tahun 1943. Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengadakan penelitian dan survey di area dekat sungai Digul dan Bian sampai wilayah Muting untuk membuat daerah persawahan. Pemerintah Belanda terus berupaya untuk membuat areal yang direncanakan dan mendatangkan orang-orang Jawa yang dimukimkan di Merauke. Maka dari sinilah muncul istilah Jawa Merauke ( Jamer) yang populer hingga sekarang ini.







II. Kolonisasi Belanda




Transmigrasi di tanah Papua sebenarnya tak lepas pula dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia atau Hindia Belanda. Pemerintah Belanda memulai program tersebut dengan nama kolonisasi, kelompok-kelompok koloni pertama yang dikirim itu berasal dari Kedu kota bekas Keresidenan Jawa Tengah. Kelompok-kelompok koloni ini berasal dari Jawa Tengah dan pemerintah Belanda mengirim sebanyak 155 KK ke desa baru dekat Gedong Tataan sebelah Selatan Way Sekampung di Lampun Selatan pada 1905.
Pemerintah Belanda bermaksud melaksanakan kolonisasi ini adalah untuk menempatkan petani dari daerah padat penduduk ke daerah-daerah kosong di luar Pulau Jawa sebagaii salah satu jalan memecahkan masalah kemiskinan dan kepadatan penduduk.

Karena tanah Papua saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda, sehingga tanggal 21 Februari 1902 pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke. Kemudian tahun 1908 didatangkan lagi dari Jawa yang bermukim di Kuprik bersamaan dengan itu hadir pula masyarakat Timor dari Rote yang ditempatkan ke Merauke di lokasi Kampung Timor Merauke. Tahun 1910 pemerintah Belanda mendatangkan lagi masyarakat Jawa dan dimukimkan di lokasi Spadem dan Mopah lama.
Tujuan mendatangkan para koloni ke Merauke adalah untuk berladang dan bersawah, menanam sayur-sayuran, buah-buahan serta berternak guna memenuhi kebutuhan makanan dan minuman bagi pegawai pemerintah Belanda. Pasalnya saat itu menanti droping makanan sangat lama dan memakan waktu, sebab sarana transportasi sangat terbatas dan masih menggunakan kapal layar atau kapal uap.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir tahun 1943 pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengadakan penelitian dan survey di area dekat sungai Digul dan Bian sampai wilayah Muting. Pemerintah Belanda terus berupaya untuk membuat areal yang direncanakan dan mendatangkan orang-orang Jawa yang dimukimkan di Merauke.
Meskipun pemerintah Belanda sudah angkat kaki dari tanah-tanah jajahan mereka, tetapii pemerintah Indonesia terus melanjutkan program ini dan namanya berubah menjadi program transmigrasi.
Transmigrasi pertama yang dikirim keluar dari Pulau Jawa ke wilayah trans di Pulau Pulau Kalimantan pada 12 Desember 1950. Kemudian tanggal keberangkatan ini sampai sekarang dirayakan sebagai, Hari Bhakti Transmigrasi.
Walaupun namanya diganti dari kolonisai menjadi program transmigrasi tetapi menurut mantan Mentrans Martono bahwa obyek dan subyeknya sama yaitu, memindahkan manusia dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang jarang penduduknya terutama dari pulau Jawa. Pasalnya saat ini laju pertumbuhan penduduk di sana setahun mencapai 2 juta orang atau dua juta orang per tahun..

III. Pra-Pelita sampai tahun ke-IV Pelita VI

1. Penempatan Transmigrasi Pra-Pelita-sekarang.

Lima tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1964 para transmigrasi didatangkan lagi pemerintah Indonesia. Saat itu disebut dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat (TPPSG/PPIB) di Kabupaten Manokwari ditempatkan 12 KK/30 jiwa, Kumbe(Kab. Merauke) sebanyak 27 KK dan di Dosai (Kabupaten Jayapura) sejumlah 9 KK. Pelaksanaan pembangunan di bidang Kependudukan dan Permukiman (eks Kanwil Deptrans dan Pemukiman Perambah Hutan) telah dimulai dari Tahun 1946 sampai Tahun 2000 melalui Program Transmigrasi dengan membangun unit-unit pemukiman transmigrasi sebanyak 217 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang diperuntukan bagi Transmigrasi Umum (TU) dan Swakarsa Mandiri ( TPS) sebanyak 78.127 KK atau 303.323 ji wa serta Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) sebesar 10.566 KK atau 36.076 jiwa yang penyebarannya di sepuluh Kabupaten se Provinsi Papua.

2. Perencanaan Transmigrasi di Provinsi Papua.

Dinas Kependudukan dan Permukiman Provinsi Papua dalam menyelenggaraan transmigrasi selalu Papua dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:

2.i. Perencanaan.
Perencanaan sebagai titik awal dari proses penyelenggaraan transmigrasi dengan komponen transmigrasi yang meliputi penyiapan permukiman, pengerahan dan penempatan serta pembinaan yang dilakukan setelah memperoleh rekomendasi dari kegiatan:

a. Rencana Teknis Satuan Pemukiman (RTSP)
b. Rencana Teknis Pembinaan.


2.ii. Permukiman.

Pembangunan permukiman transmigrasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Pencadangan areal.

Sampai dengan posisi 31 Agustus 1999 jumlah pencadangan areal yang telah mendapatkan SK Gubernur sebanyak 2.100.760 Ha, yang tersebar pada 10 kabupaten tertera pada tabel dibawah ini:



No Kabupaten Areal Yang Dicadangkan Ketersediaan RTSP (Paket) Keterangan
1 Jayapura 201.150 Hektar 8
2 Manokwari 598.500 Hektar 13
3 Sorong 214.530 Hektar 6
4 Nabire 135.610 Hektar 9
5 Jayawijaya 1.500 Hektar 6
6 Merauke 155.000 Hektar 10
7 Fakfak 388.025 Hektar 9
8 Mimika 146.075 Hektar 4
9 Biak Numfor 100 Hektar 1
10 Yapen Waropen 260.250 Hektar 7

Sumber data dari Kantor Wilayah Transmograsi Provinsi Papua 2000.
Bergabungnya tanah Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka sejak tahun 1964 telah ditempatkan sebanyak 27 KK transmigran di lokasi Kumbe Kabupaten Merauke. Perkembangan transmigrasi di Tanah Papua sejak Pra Pelita sampai Tahun Anggaran 1999/2000, telah dibangun 217 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) atau 78.127 KK/303.323 jiwa transmigran umum dan transmigrasi swakarsa berbantuan. Sampai saat ini sejumlah 156 UPT atau 58.530 KK atau 235.911 jiwa transmigran telah diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga pada tahun anggaran 2000 masih terdapat 60 UPT yang dibina oleh pemerintah khususnya Dinas Kependudukan dan Permukiman ( Eks Kanwil Departemen Transmigrasi dan PPH Provinsi Papua).
Meskipun para perencana program transmigrasi selalu menepis isu bahwa program transmigrasi bukan Jawanisasi, sebab yang dikirim ke Provinsi Irian Jaya (Papua) adalah transmigrasi asal Bali dan NTT.
Namun jika mengkaji laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa sebenarnya cukup tinggi yaitu mencapai 2 juta pertahun.
Sementara program transmigrasi atau pemerintah pusat (Jakarta) hanya mampu memindahkan penduduk dari Jawa sebanyak 50.000 KK atau 200.000 jiwa pertahun. Mereka yang dipindahkan ke luar Pulau Jawa umumnya para transmigrasi yang serba keterbatasan dalam tingkat hidup dan pendidikan. Atau mereka adalah masyarakat Jawa yang menjadi korban kebijakan di sana.
Apalagi menurut Oey dan Gardiner yang menjelaskan bahwa salah satu penyebab keterbelakang daerah-daerah Indonesia bagian Timur (IBT) adalah karena pola migrasi yang tidak mendorong pertumbuhan regional. Proses industrialisasi yang makin terkonesentrasi di Pulau Jawa telah mendorong proses ketimpangan melalui proses migrasi tenaga kerja. Perkembangan industri di pulau Jawa telah semakin mendorong outmigrasi (migrasi keluar) dari tenaga kerja kurang terdidik dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa.
Makanya migrasi spontan dan migrasi yang diatur pemerintah (program transmigrasi) bisa jadi merupakan beban bagi pemerintah daerah di masa depan jika tidak diperhitungkan sejak dini atau secara baik.
Program transmigrasi di Papua pernah pula dikritik Gubernur Suebu dengan menyebut pengiriman transmigrasi ke tanah Papua itu ibarat piring piring kosong yang didatangkan dari luar Papua hingga terpaksa pemerintah daerah harus mengisi dengan jatah makanan yang sama bagi mereka. “



IV Pola-pola Transmigrasi di Tanah Papua

Sejak awal pemerintah Belanda hingga masuknya tanah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa disimpulkan ada beberapa model transmigrasi yang telah dilakukan.
Namun pola transmigrasi yang banyak memakan lahan dan areal terluas adalah program transmigrasi pola perkebunan. Pengaruh kebijakan politik juga turut mempengaruhi pola pola pengembangan transmigrasi di tanah Papua.
Jika melihat dan mengkaji pelaksanaan program transmigrasi yang selama ini berjalan di Tanah Papua maka bisa disimpulkanbahwa paling sedikit ada lima pola yang telah dikembangkan. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dikembang pola transmigrasi baru yakni, Kawasan Terpadu Mandiri, (KTM). Adapun program ini dikembangkan di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Keerom.

IV.i.Pola Tanaman Pangan

Sebagian besar (90 %) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang dapat digolongkan dalam pola tanaman pangan. Pada pola ini setiap KK transmigrasi memperoleh lahan pertani seluas 2 Ha dengan preincian 0,25 Ha lahan pekarangan dan 0,75 Ha lahan usaha I. Sedangkan lahan usaha II seluas 1 Ha dan masih berupa hutan.
Ironinya dalam program tanaman pangan lebih cenderung dilakukan membuka ladang padi dan juga areal persawahan sehingga penduduk asli tidak mampu beradaptasi dalam mengelola sawah atau pun menanam padi.



IV.ii. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans)

Pola PIR yang telah dikembangkan adalah pola-pola PIR Kelapa Sawit Arso sebanyak 5 UPT di Jayapura dan 5 UPT di Mankwari. PT Perkebunan II sebagai inti sedangkan para trans sebagai plasma. Setiap KK pola PIR memperoleh lahan seluas 3 Ha yaitu 0,25 Ha sebagai lahan pekarangan,lahan pangan seluas 0,75 Ha dan lahan plasma seluas 2 Ha yang dikembangkan kelapa sawit.

IV.iii. Pola Nelayan (Trans Nelayan).

Pola trans ini yang baru dikembangkan pada I UPT di Wimro Kecamatan Bintuni Kabupaten Manokwari. Di Sorong telah disiapkan lahan seluas 10.000 Ha di Pulau Waigeo untuk trans nelayan.

IV.iv.Pola Hutan Tanaman Industri ( HTI Trans).

Pola Trans ini yang baru dikembangkan adalah jenis komoditi varietas sagu unggul di lokasi Aranday I dan Aranday II di Kabupaten Manokwari. Pola tanaman industri sagu ini hanya memanfaatkan sagu sagu alam tanpa melakukan budi daya sagu sagu baru. Padahal dalam hutan tanaman industri harus melakukan budi daya sagu dengan varitas unggul yang diperoleh dari alam.

IV.v. Pola Jasa dan Industri (Trans Jastri)

Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken, industri yang dikembangkan adalah pemanfaatan galian c dan industri dasar kayu meubel.
Menurut informasi terakhir program ini gagal karena industri yang dikembangkan tidak laku di pasaran dan terpaksa mereka brtahan dengan bertani di lahan terbatas. Dari 39 KK trans dasal yang semula ditempatkan ternyata yang kembali ke Pulau Jawa sebanyak 23 KK dan yang tinggal hanya 16 KK.
Selain pola-pola trans diatas sebenarnya program yang dikembangkan secara khusus oleh mantan Mentrans Ir Siswono Yudho Husodo yang mengembangkan pola transmigrasi agro estate pelaksanaannya hampir sama dengan PIR Trans. Dalam pola ini developer membangun lahan dalam skala ekonomi perusahaan dan di petak-petak dalam skala rumah tangga dengan dana yang dihimpun sendiri baik equity maupun pinjmanan dari bank.

IV.vi. Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika
Ironinya hanya dua daerah provinsi di Indonesia yang dijadikan model program transmigrasi Bhineka Tunggal Ika yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Irian Jaya (Papua).
Program ini direncanakan oleh Mentrans dalam Kabinet Reformasi Letjend TNI (Purn) A.M.Hendropriyono (mantan kepala Badan Inteleijen Negara (BIN) dengan meluncurkan program transmigrasi yang diberi nama Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Bhintuka) yang dikembangkan di wilayah provinsi Aceh dan Papua. Konsep transmigrasi Bhintuka terbuka untuk masyarakat dari seluruh suku bangsa di Indonesia. Lokasi baru ini dibuka di SP XIII Timika Kabupaten Mimika sejak tahun 1998.




V. Dampak-dampak Program Transmigrasi

V.i. Lingkungan.
Menjelang jatuhnya kekuasaan pemerintahan rezim Orde Baru banyak sekali terjadi perubahan-perubahan politik, sehingga membuat bangkitnya masyarakat adat untuk menentang pengambil alihan tanah-tanah adat mereka.
Salah satu yang paling menonjol adalah ketika masyarakat Marind yang tergabung dalam Forum Masyarakat Adat Marind mengatakan," Tidak ada lagi tanah untuk program transmigrasi di tanah-tanah adat suku Marind. Sudah cukup kami berikan. Kami juga memerlukan tanah untuk masa depan anak-anak dan cucu kami."
Pernyataan diatas bukan berarti menggambarkan kemarahan atau pun ketidak senangan mereka terhadap kaum transmigran tetapi merupakan wujud keprihatinan. Pasalnya dalam pengembangan suatu lokasi pemukiman trans harus selalu memperhitungkan kesejahteraan dan kehidupan masyarakat asli di kemudian hari.
Anggapan yang mengatakan tanah hutan tropis itu sangat subur karena adanya hutan lebat, sebenarnya merupakansuatu mitos dari pada suatu kenyataan. Hanya dengan beberapa pengecualian sebab hampir semua tanah hutan tropis tidak sesuai untukkegiatan pertanian intensif.
Kesuburan tanah di daerah tropis merupakan suatu sistem atau siklus pemanfaatan energi secara tertutup dan sangat rentan terhadap sinar matahari, produsen (tumbuhan) bahan organik yang mati pengurai (bakteri), konsumen (tumbuhan dan binatang/hewan) yang sangat terbatas,maka pengaruhnya sangat kecil terhadap siklus hutan tropis.
Pembabatan hutan menyebabkan hilangnya siklus energi,sehingga dapat menggangu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akanmembuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikanhasil panen yang baik selama 2-3 tahun atau beberapa kali panen saja. Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) maka kegiatan pertanian di daerah-daerah tropis akan terhenti. (Dr Jance De Fretes).
Perladangan berpindah-pindah sebenarnya merupakan suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini. Akhirnya lahankehilangan kesuburan maka peladang akan membiarkan lahan trsebut (follow of period) untuk memperbaiki siklus energinya. Namun sangat sulit diterapkan dalam kegiatan pertanian menetap. Jika kesuburan tanah berkurang maka petani transmigran akan menggunakan pupuk.
Persoalannya adalah ketika pemanfaatan pupuk dan pengontrol hama (pestisida, herbisida dan inteksida) yang berlebihan akan menimbulkan pencemaran. Meskipun luas lokasi trans yang terbatas, kemungkinan penvemaran terbatas pula. Yang jelas menurut Dr Jance De Fretes telah terjadi pemusnahan spesies tertentu.
Kedatangan para transmigrasi biasanya diikuti dengan masuknya berbagai jenis spesies tumbuhan maupun hewan baru baik yang disengaja atau pun tidak menyebabkan terjadinya proses pembunuhan spesies lokal. Akibatnya masuknya spesies asing ke lingkungan baru. Masuknya jenis ikan Gastor,keong mas dan ikan betik/betok menjadi hama bagi jenis-jenis ikan lokal. Jadi tak heran kalau pakar lingkungan mengatakan program transmigrasi sangat berpotensi dalam proses kepunahan spesies asli di tanah papua. Apalagi tanah Papua mempunyai keanekaragaman hayati dan tingkat keendemikan paling tinggi di Indoensia.
Misalnya saja dengan masuknya jenis-jenis ikan lain seperti ikan betok/betik dan ikan gabus Toraja di lokasi trans di Merauke telah menghilangkan atau terjadi populasi ikan-ikan jenis asli yang punah. Ikan-ikan tersebut adalah katip, olip, nambim (gabus licin). Ikan-ikan merupakan jenis ikan asli milik suku-suku Marind di Kabupaten Merauke.
Ahli lingkungan Dr Jance De Fretes dari Conservation International (CI) menyimpulkan kegiatan dan penyiapan program transmigrasi mengakibatkan pertama perusakan dan hilangnya habitat alam. Kedua mendorong terjadinya pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Ketiga menambah kemungkinan spesies baru atau spesies asing. Keempat meningkatkan kemungkinan terjadinya pencemaran.

V.ii. Sosial dan Budaya Papua

Program transmigrasi di tanah Papua menurut Drs Jhon Rahail M Kes pakar kependudukan dari PSK Uncen adalah sangat tidak demokratis karena dengan sadar pelaksana transmigrasi mencoba untuk menghilang pengetahuan tradisional masyarakat translok yang sesungguhnya harus diangkat dan dikembangkan (terkandung nilai budaya), karena memang mereka harus hidup dengan budaya asing asing di negerinya sendiri. Adalah sangat tidak manusiawi sekali, karena orang Papua harus menyesuaikan diri dengan budaya asing di tanah kelahirannya.
Konsep pembangunan transmigrasi bukan sekadar mengubah prosentase dari 20 persen menjadi 60 persen untuk translok (APPDT) tetapi harus mempunyai makna yang mendalam. ( Rahail Jhon, Transmigrasi Pola Budaya di Papua, Untuk Siapa. Irja Post 2 Februari 2000). Perbandingan antara penduduk lokal semakin mencuat dan sangat mencolok.
Hal ini bisa terlihat dari data-data dari Distrik Arso dari 24 kampung di sana ternyata hanya 8 kampung merupakan kampung penduduk asli sedangkam sisanya merupakan penduduk transmigran.
Pertambahan penduduk di Tanah Papua menurut Dr Lapona pakar kependudukan dari Pusat Studi Kependudukan Uncen lebih banyakdipengaruhi proses migrasi masuk (inmigration) yaitu migran spontan dan transmigran, sedangkan pertambahan alami (natural increase) yang disebabkan selisih penduduk yang lahir (fertility rate) dibanding yang meninggal (mortality rate) kurang berperan. Apabila program transmigrasi kurang lagi dikembangkan seperti kebijakan pembangunan Papua sebelumnya, maka pertambahan penduduk di daerah ini ke depan akan lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lainnya di Indonesia.
Dr Lapona memberikan contoh tahun 1961 jumlah penduduk di Provinsi Papua diperkirakan sekitar 700.000 jiwa (Prof Dr Koentjaraninggrat dkk, 1993), tahun 1971 berjumlah sekitar 923.440 jiwa, tahun 1980 berjumlah 1.173.875 jiwa, tahun 1990 sekitar 1.648.708 jiwa dan sesuai sensus penduduk tahun 2000 2.127.523 jiwa atau sekitar satu persen dari jumlah penduduk di NKRI, sehingga selama 39 tahun jumlah penduduk hanya bertambah 1.427.523 jiwa saja.
Selain itu menurut pakar kependudukan Papua dari PSK Uncen Drs Michael Rumbiak MA setelah Pepera tahun 1969 pemerintah Indonesia menyatakan Provinsi Papua terbuka (open door policy) bagi orang Indonesia lain bebas masuk Papua. Kebijakan ini jelas menyebabkan banyak orang datang berbondong-bondong ke tanah Papua. Sejak tahun 1970, an sampai dengan tahun 200 jumlah penduduk di Tanah Papua meningkat sangat cepat dan tajam tiga kalki lipat (trippled) dari jumlah 700.000 menjadi 2.5 juta pada tahun 2000 selama kurang lebih 35 tahun. Drs Michael Rumbiak MA menjelaskan dari jumlah 2,5 juta tersebut diperkirakan orang Papua asli hanya mencapai jumlah sekitar 1,5 juta orang, berarti terjadi penambahan 800.000 orang Papua asli.
Mengenai program transmigrasi di Tanah Papua menurut Drs Michael Rumbiak kedatangan para transmigran justru menimbulkan kepincangan tajam jumlah penduduk asli terhadap jumlah transmigran atau migran sebagai bagian penghuni. Program transmigrasi seakan-akan membatasi orang Papua tetap sedikit(minoritas) di tanah kelahirannya atau tanah leluhur mereka. Kenyataannya orang Papua bertambah sangat lambat dan tidak mengimbangi orang-orang non Papua di daerah transmigrasi menjadi minoritas dan tidak mampu bersaing dengan mereka dan dikhawatirkan bisa stress mental.
Transmigrasi dan migrasi spontan merupakan program percepatan pertambahan jumlah penduduk non Papua di tanah Papua sehingga cepat melebihi jumlah penduduk asli Papua dalam waktu singkat. Di daerah perkotaan kabupaten mau pun Kota Jayapura jumlah orang non Papua sudah melebihi orang Papua. Perbandingan jumlah penduduk yang timpang tersebut kelihatan jelas sekali pada pusat-pusat keramaian.
Program transmigrasi menurut Rumbiak tanpa sadar telah memiskin masyarakat lokal. Masyarakat lokal kehilangan hak-hak adat mereka atas tanah, hutan dengan sumber daya alamnya untuk selama-lamanya. Hak milik tanah menurut klen/suku yang masih kental menyebabkan klen-klen atau suku-suku melepaskan tanah untuk program transmigrasi tidak dapat bebas memanfaatkanm hak ulayat milik klan atau suku lainnya. Lalu mereka itu mau kemana?
Drs Michael Rumbiak MA memberikan contoh di lokasi trans di Arso sekitar tahun 1970 an jumalh penduduk asli di sana tidak lebih dari sekitar 1000 orang tetapi sekarang pada tahun 2000 jumlah penduduk Arso sudah mencapai sekitar 20.000 orang, berati ada penambahan sekitar 19.000 orang non Papua, serentak orang asli Arso menjadi minoritas dan tersisih. Perkebunan KebunKelapa Sawit milik PT Sinar Mas telah menggangu aktivitas usku Masita Lembah di lembah Juk Kaureh mereka sudah membagi lembah Juk sebagai tempat perburuan mereka. Rotasi perladangan mereka selalu berlangsung dua atau tiga tahun suku Masita ini berpindah berladang ke lokasi lain sesuai hak-hak adat mereka. Mereka berotasi selama 20 tahun dalam suatu areal perburuan dan perladangan seluas 10.000 Ha sampai dengan 20.000 Ha. Walau pun kita tidak berharap masyarakat Papua tinggal berburu dan berladang berpindah tetapi yang terpenting di sini adalah pengalihan mata pencaharian sesuai karakter dan kemampuan mereka. Kalau tidak ieperhatikanmaka sudah jelas mereka akan menjadi marginal di atas lahan mereka sendiri dan tak berdaya bersaing dengan kaum transmigran.
Depopulasi dapat saja terjadi di daerahseperti ini. Yang jelas kata Rumbiak transmigran lebih banyak dan kuat sehingga mendesak orang asli Arso mundur ke daerah-daerah bukit tandus. Ketimpangan jumlah penduduk asli Arso dan non Arso di daerah ini sudah pasti akan ditemuidi daeerah lokasi trans lainnya di tanah Papua.
Rumbiak menyarankan kepada pemerintah Provinsi Papua untuk membatasi jumlah kepala keluarga/kk transmigran yang akan dikirm ke Papua, di samping membatasi areal tanah yang diberikan kepada transmigran dari ratusan hektar menjadi puluhan hektar. Program transmigran seyogianya dihentikan karena hanya memberi keuntungan kepada transmigran sendiri dan penduduk di perkotaan. Keluarga-keluarga transmigran memperoleh keuntungan dengan mengolah sebidang tanah yang menghasilkan kebutuhan social ekonomi keluarga, sementara masyarakat pemilik tanah adat, ekhialangan tanah dan hutan tempat mereka meramu, berburu dan berladang. Kenyataan tidak terjadi transfer pengetahuan mau pun tekologi daripara transmigran kepada penduduk lokal sebagai subtitusi terhadap hak-hak dasar mereka yang hilang. Kehadiran transmigran hanya menguntungkan penduduk kota yang selalu mengkonsusmi hasil-hasilpertanian keluarga-keluarga transmigran.

V.1.Kepemimpinan dan Sistem Politik Tradisional Papua Sebenarnya perdebatan antara pemimpin desa dan kepala suku sudah berlangsung, sebab menurut Prof Dr Matulada pakar antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar bahwa ada dua aliran dalam masalah pedesaan ini. Aliran pertama adalah melihat "penyeragaman desa" sebagai upaya penanganan yang paling efektif. Sedangkan aliran kedua adalah yang melihat "keanekaragaman desa" sebagai pangkal pemahaman secara mendasar aspirasi masyarakat untuk berpartisipasi.
Aliran pertama telah terkondisikan di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Bahkan telah diterapkan juga di tanah Papua. Namun berkaitan dengan hal ini ada sesuatu yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan/kebijakan yakni," hilangnya sifat khas kampung ynag tadinya beranekaragam" danakan tumbuhnya kekuatan sentrifugal yang akan membawa ancaman terhadap integrasi masyarakat yang bisa berkelanjutan pada rusaknya integrasi bangsa. Sebab penyeragaman pada hakekatnya dipandang sebagai paksaan dan mengundang keresahan. Karena itu menurut Matulada, penyeragaman semua lambang kampung menjadi asing dantidak memiliki nilai intrinsik dalam kebudayaan setempat. Kesan umum justru memperlihatkan penyragaman itu idnetik dengan proses Jawanisasi yang sebenarnya harus dipandangsebagai langkah yang tidak nasionalis (Kompas, 9 Juli 1992).
Akibatnya semua kebijakan mengacu pada kondisi masyarakat Jawa yang tidak cocok dengan luar Jawa. Misalnya, pemerintahan daerah ditentukan oleh pusat. Sedangkan peranan daerah amat kecil. Padahal dalam kehidupan itu, keragaman tidak bisa ditolak bahkanditiadakan oleh pembangunan Indonesia sebelum ini. Prof Dr Mursal Esten menambahkan masing-masing daerah jelas memiliki keragaman yang menuntut kebijakan yang khas pula dan tentu tidak disentralisasikan ( Kompas, 27 Nopember 1999).
Pendapatsenada juga disampaikan tokoh masyarakat Dayak Stevanus Juweng dari Lembaga Dayakologi yang mengatakan bahwa penggusuran secara sistematis wilayah adat yang dibangun atas dasar kesatuan genealogis dan kemudian diganti dengan pembentukan desa secara administratif,bahkan di beberapa kampung adat digabungkan menjadi satu desa mengaburkan batas wilayah adat. Demikian pula status tanah adat dan hal ulayat. Akibatnya keberadaan hukumadat peserta pemuka adat direkayasa , dikikis dan sekaligus dimatikan peran sosial serta pengaruhnya oleh penguasa. Mereka yang layak menjadi kepala desa harus berpendidikan minimal sekolah dasar atau SD. Sehingga ini menutup peluang bagipemuka adat. Kriteria ikatansosial pun bukan lagi atas dasar keturunan tetapi lokasi desa. Pendek kata pembentukan desa gaya baru itu justru mengubah danmenghancurkan tata keidupanmasyarakat adat secara total (Kompas, 25 Okotber 1999).
Padahal kalau mau dikajisecara mendalam, sebenarnya di Indonesia memiliki keragaman budaya yang sudah pasti mempunyaikeragaman kepemimpinan tradisonal.
Menurut Dr JR Mansoben, MA dalam bukunya berjudul " Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya (Papua) kepemimpinan bisa dibagi menjadi beberapa type yaitu :

1. Type Raja

Kerajaaan tradisional berdasarkan geografisnya terbagi dalam beberapa wilayah. Pertama Kepulauan Raja Ampat Sorong . Kedua wilayah semenanjung Onin dan ketiga Kowiai atau Namatota. Para pemimpin di pusat-pusat dan kepemimpinan ini biasanya dipanggil raja. Tetapi setiap wilayah mempunyai bahasa sendiri untuk menyebut raja-raja mereka. Di kepulauan Raja Ampat gelar seorang pemimpin adalah Fun atau kalana. Sedangkan di Onin disebut Rat,meskipun istilah umum orang lebih mengenal istilah Raja.



2. Tipe Pria Berwibawa (Big Man Leader)

Konsep pria berwibawa menurut pakar antropologi digunakan untuk menyebut para pemimpin politik tradisional di wilayah daerah-daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia. Kepemimpinan ini bisa dilihat pada masyarakat Maybrat di Pusat Kepala Burung yaitu sistem politik Bobot. Orang-orang Me dengan sistem politik Tonowi. Orang-orang Muyu dengan sistem politik Kayepak. Ciri-ciri utama dari sistem kepemimpinann ini adalah melalui pencapaian (achievement) dan pewarisan kedudukan pemimpin (ascibed status). Sumber kekuasaan dari tipe politik ini yaitu kemampun individual yang diwujudkan dalam bentuk berhasil mengalokasikan dan mendistribusikan kekayaan, kemampuan berpidato dan berdiplomasi, serta keberanian pemimpin perang.

3. Kepala Suku ( Ondoafi)

Sistem politik Ondoafi terdapat pada bagin Timur Laut Provinsi Papua yaitu orang-orang Sentani, orang-orang Genyem (Nimboran), penduduk Teluk Humbold (Yos Sudarso), orang Tabla, orang Yaona, orang Yakari Skouw dan orang Arso Waris. Yang menjadi ciri utamanya yaitu pewarisan kedudukan dan birokrasi tradisional. Bedanya dari sistem kerajaan karena faktor-faktor teritorial dan orientasi politik. Artinya, ondoafi hanya terbatas pada satu yo atau kampung saja dan kesatuan sosialnya terdiri dari satu golongan atau sub golongan etnik saja.


4. Sistem Kepemimpinan Campuran
Kepemimpinan ini mempunyai ciri utama yaitu kedudukan pemimpin merupakan hasil pencapaian dan pewarisan. Artinya seseorang bisa menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan individual, berprestasi dan keturunan. Pendukung sistem kepemimpinan campuran terdapat pada masyarakat Teluk Cenderawasih seperti orang-orang Biak, Wandamen, Waropen, Yawa dan Waya.
Keempat ciri di atas merupakan gambaran bagaimana di tanah Papua ini terdapat beragam sistem pemerintahan tradisional yang sebenarnya perlu dikaji dan diterapkan dalam memacu pembangunan masyarakat di sini. Terutama sekali para pengambil kebijakan yang selalu tidak mau mendengar aspirasi masyarakat bawah. Misalnya pembagian wilayah dilakukan tanpa melihat batas-batas klen hingga tak heran kalau ada orang Muyu di Papua New Guinea (PNG) atau ada orang Irarutu di Kabupaten Fakfak dan Manokwari.


V.2. Pemerintahan Tradisional Terdesak

Dampak dari kebijakan pemerintahan desa menyebabkan pemerintah tradisional ditingakt masyarakat adat semakin terdesak dan tersisih ketika peranan kepala desa dalam struktur pemerintahan formal mulai berbicara.
Walau pun dalam soal pelepasan tanah dan hak adat, peranan kepala adat/tokoh-tokoh adat masih bisa bertahan.
Masalah iniperlu mendapat perhatian dari semua pihak, sebab kalau tidak ada itikad baik dari masyarakat dan pemerintah. Bisa jadi peranan kepala adat makin lama memudar dan hilang. Maka tak heran kalau yang lahir adalah tokoh-tokoh adat karbitan yang tidak tahu sejarah asal-usulnya demi memanfaatkan perubahan-perubahan kepemimpinan tradisonal bagi kepentingan ekonomi dan politiknya.
Pasalnya kampung-kampung di tanah Papua ini bersifat genealogis yaitu berdasarkan asal-usul keturunan yang mengelompok dalam suatu kampung. Perkampungan ini terdiri dari beberapa rumah yang dibangun secara terpisah menurut klen/keret keluarga batih dan satu keluarga luas. Pola-pola pemukiman juga sesuai klen. Oleh sebab itu dalam satu kampung mempunyai hubungan consanguinal, yaitu merupakan satu keturunan atau kerabat dan mempunyai hubungan dengan kampung lain karena hubungan perkawinan. Hal lain tentang perbedaan dalam dasar-dasar kepemimpinan kepala desa. Di tanah Papua sangat kental dengan kepemimpinan kepala suku (sistem politik tradisional) yang kurang dipahami oleh para perencana. Hingga tak heran kalau dalam praktinya di lapangan bisa timbul dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah kampung atau desa. Pembagian wilayah desa juga kurang memperhatikan hubungan-hubungan kekerabatan dan klen dalam masyarakat lokal.
Celakanya lagi kalau pemekaran desa dilakukan tanpa memperhitungkan sistem kepemimpinan lokal dengan hadinya beratus KK transmigran yang datang bukan karena kemauan sendiri tetapi kebijakan politik. Maka tak heran kalau benturan-benturan kepentingan akan terjadi kalau kurang memperhitungkan masyarakat bawah. Kebijakan yang kurang melibatkan masyarakat dalam program transmigran sudah tentu akan mengorbankan masyarakat adat atau lokal itu sendiri.
Ironinya penempatan transmigran itu dilakukan dengan mengganti nama-nama lokal menjadi Desa Sabronsari, Kertosari di lokasi trans Jayapura. Penamaan ini mengakibatkan hilangnya nama-nama asli yang telah lama berakar pada masyarakat lokal. Apalagi nama-nama asli ada hubungan nya dengan mitos dan asal usul. Oleh karena itu penempatan transmigrasi ke tanah Papua harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Bukan untuk menjawab kepadatan penduduk di tanah Jawa, Bali dan Madura, sementara mengabaikan kepentingan kedua belah pihak baik transmigran mau pun masyarakat lokal.
Pasalnya dalam sejarah transmigrasi di Indonesia pernah terdapat beberapa keberatan dari pihak penduduk asli Sumatera Selatan sebagaimana dirumuskan dalam Konggres Adat di Palembang Juni 1957. Berdasarkan pengalaman masyarakat seluruh Sumatera mempersoalkan masalah penempatan transmigrasi. Maka program transmigrasi di masa yang akan datang harus memperhitungkan keberadaan penduduk setempat. Pasalnya, selama ini program transmigrasi tidak berhasil menjawab kebutuhan masyarakat lokal. Jadi jangan kaget kalau masyarakat Marind di Merauke mengeluarkan suatu pernyataan yang mengatakan," Tidak ada lagi tanah-tanah untuk program transmigrasi di tanah-tanah adat suku Marind. Sudah cukup kami berikan! Kami juga memerlukan tanah untuk masa depan anak-anak dan cucu kami."
Terlepas dari pro dan kontra tentang penempatan transmigrasi atau pun bentuk-bentukkebijakan di tanah Papua, paling tidak harus memperhatikan sudut pandang orang-orang kampung. Dengan cara membuang jauh cara pandang para perencana kita. Tidak berlebihan bila ada asumsi yang mengatakan bahwa negara kesatuan telah mengakibatkan terjadinya cultural genocide dari berbagai suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Dr Benny Giay dalam papernya berjudul, " The West Papuan's Right for Cultural Freedom." Paling tidak ada enam aspek budaya Papua yang terancam hilang akibat pengaruh eksternal, antara lain kebijakan transmigrasi oleh pemerintah negara kesatuan RI dan kebijakan yang menggusur sistem pemerintahan tradisional di Tanah Papua.


Daftar Pustaka

1. Karakteristik Kependudukan dan Fenomena Pemukiman Masyarakat di Provinsi Papua oleh : Dr La Pona

2. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Dr JR Mansoben, MA


3. Transmigrasi Sekilas Lintas di Bumi Cenderawasih, Dominggus A Mampioper

4. Buletin Kabar dari Kampung, edisi No:92/Th.XVI/1988 sampai edisi No.93/Th XVII/1999.


5. Transmigrasi di Tanah Papua Membangun Siapa ?,
oleh Dominggus A Mampioper.

6. Informasi Pembangunan Transmigrasi dan PPH Provinsi Papua

7. Catatan Seminar Arso, YPMD Papua, 1990.

8. Kliping transmigrasi di daerah Papua dan Nasional, tahun 1996-2000


9. Dampak Pembangunan Terhadap Depopulasi Penduduk Asli Tanah Papua Oleh Drs Michael Rumbiak MA mantan Direktur Pusat Studi Kependudukan (PSK) Uncen Jayapura.
10. DR JR Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Thesis Doktor Universitas Leiden.